Perkenalkan
buat yang belum tahu namaku Widi, aku lahir di Purworejo 28 tahun yang lalu. Sekarang aku tinggal di
Sleman,Yogyakarta bersama istriku (Henny)yang aku nikahi 3 tahun yang lalu.
Kesibukanku setiap hari mengajar anak-anak di SD N Depok 1 dan syukur
alhamdulilah sekarang sudah diangkat menjadi PNS. Mungkin bagi sebagian besar
orang, menjadi seorang PNS adalah hal yang biasa. Namun bagiku hal tersebut
sangat luarbiasa mengingat banyak sekali orang-orang yang sepertiku sangat
susah mendapatkan pekerjaan yang layak. Mungkin kalian penasaran mengapa aku
bilang seperti itu. Kisahnya terjadi sekitar 5 tahun yang lalu tepatnya hari
Senin tanggal 29 Mei 2007 jam 04.30 di kota Wates. Saat itu aku baru saja
menyelesaikan studi pendidikan guru di UNY, kira-kira baru sekitar enam bulanan
dan baru bekerja sebagai tenaga bantuan di sekolah tempat ibuku bekerja. Tiap
akhir pekan aku pasti pergi menemui pacarku yang Alhamdulillah sekarang menjadi
istriku (Henny)di Jogja.
Waktu itu hari
Sabtu tanggal 27 Mei 2007 aku melaju ke Jogja dengan mengendarai sepeda motor,
sebenarnya Henny sudah melarangku untuk berangkat namun karena keinginan yang
kuat maka aku tetap berangkat. Di Jogja kebetulan ada temannya Henny dari
Kudus, temanya perempuan. Aku di Jogja tinggal di kos-kosan yang kebetulan
masih ada masa kontraknya. Keesokan harinya kami memutuskan untuk pergi main ke
pameran buku di gedung Wanitatama jalan Solo, karena aku laki-laki sendiri maka
aku mengajak temanku juga, kebetulan dia masih kuliah di UMY. Entah memang
kebetulan atau memang sudah ditakdirkan ketika kami hendak solat di mushola,
aku secara tak sengaja melihat orang di shaf paling belakang (sedang salat berjamaah)
sedang sujud. Sebenarnya tak ada yang aneh dengan orang tersebut, hanya saja
aku melihat kaki kanan orang tersebut memakai kaki palsu. Tetapi saat itu aku
menganggap itu hal biasa dan tak menghiraukannya. Tibalah saat malam, kami
pulang ke rumah Henny. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 19.00. Aku
sebenarnya mau berpamitan pulang, karena hari yang sudah malam, Henny
melarangku. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang pada keesokan harinya,
tepatnya Senin pagi karena aku harus masuk kerja. Waktu menunjukan pukul 03.30.
Aku bersiap-siap dan kemudian berangkat pukul 03.40 berharap sampai rumah
(Purworejo) sebelum pukul 06.00. Tak ada firasat apa-apa saat itu. Setelah
diperjalanan akhirnya sampai di kota Wates.
Bagi yang
sering jalan Jogja-Purworejo pasti sudah kenal daerah ini. Kalau dari arah
Jogja, di kota Wates ini terdapat dua buah perempatan yang di lengkapi dengan traffic light. Setelah melewati traffic light kedua, kalian akan
menemukan sebuah tikungan agak tajam. Disitulah peristiwanya terjadi, kecepatan
sepeda motorku saat itu 60-70. Aku ingat betul karena aku sempat melihat
speddometer sebelum mencapai tikungan. Setelah melihat speddometer aku melihat
kendaraan lain di belakangku melalui spion, kebetulan aku di posisi paling
depan setelah melaju dari traffic light.
Setelah itu aku menutup kaca helmku untuk mencegahnya masuknya pasir ke mataku
(mata sering kemasukan pasir) namun karena sudah agak lama helm tersebut ku
pakai, kaca helmnya tidak seterang saat baru. Sehingga pandangan agak kurang jelas.
Tidak aku sangka setelah melewati tikungan terlihat ada kendaraan(kemungkinan
truk/bus) yang melaju dari arah berlawanan. Dan tiba-tiba ada sebuah sepeda
motor berusaha mendahului kendaraan tersebut, dan menurutku sepeda motor
tersebut terlalu ke kanan saat mendahului. Sehingga posisiku seakan-akan
diantara dua kendaaran tersebut. Secara tiba-tiba tanpa sempat mengerem “Bruka”
aku bertabrakan dengan sepeda motor tersebut. Saat terjadi tubrukan, di
kepalaku sempat terlintas “Wah..aku tabrakan”. Setelah itu aku tak sadarkan
diri. Namun selang beberapa waktu, aku tersadar. Saat aku tersadar dalam
pikiranku aku harus berusaha ke tepi jalan supaya tidak tertabrak kendaraan
lain. Aku ingin beranjak akan tetapi kaki dan tanganku yang sebelah kiri sama
sekali tidak bisa aku gerakkan. Kemudian karena penasaran mengapa kok tidak
bisa digerakkan, akupun melihat kakiku sebelah kiri. Mungkin kalian tidak
percaya, ternyata kaki bagian bawahku sudah hilang (ternyata kata polisi
potongan kakiku terlempar sejauh + 5 meter).
Saat itu tanpa
rasa shock atau pingsan yang terlintas di kepalaku hanya satu “Aku tak bisa berjalan lagi”. Setelah
itu aku baring lagi karena memang kondisinya sangat sakit dan darah mengalir
deras hingga tubuhku terasa sangat lemas. Aku melihat kondisi sekitar karena
saat itu sudah cukup terang, kira-kira pukul 05.30 dan ternyata posisiku berada
di tepian jalan dan helmku sudah terlepas. Waktupun semakin berlalu dan banyak
warga yang sengaja melihat kejadian tersebut. Disitu aku melihat ada polisi berpakaian
preman sedang mengatur lalu-lintas, karena kondisiku yang semakin lemas akupun
memanggil-manggi polisi itu sambil mengangkat tangan kananku (kaki dan tangan
kanan tidak terluka) sambil minta tolong. Aku ingat benar polisi itu berkata
“Sabar mas…sabar”. Dalam posisi tersadar, aku terbaring kira-kira 15 menit di
jalanan. Kemudian datanglah mobil polisi
(sejenis mobil Suzuki Jimny)akupun diangkat dan dimasukkan ke dalam bagian
belakang mobil tersebut tepatnya di lantai mobil karena joknya cukup sempit.
Kemudian aku di bawa ke RSUD Wates. Kondisi saat itu tersadar terus, tapi aku
merasakan kalau darahku sudah tinggal 50%. Aku sangat cemas kalau-kalau aku
kehabisan darah. Kemudian di rumah sakit aku di mintai no telp, saat itu aku
bingung harus memberikan no telp siapa. Akhirnya aku memutuskan untuk
memberikan no telp pacarku (Henny) walaupun dengan resiko pasti akan shock.
Perawat pun menelponya dan memberitahu bahwa aku kecelakaan. Saat itu handphone
masih ada di saku, kemudian Henny menelepon ke handphonku dan sempat aku
angkat, namun karena aku tidak kuat menjawab akhirnya handphone tersebut aku
serahkan pada perawat rumah sakit.
Karena kondisi
yang tidak memungkinkan akhirnya aku dirujuk ke RS dr Sardjito. Disana Henny
sudah menunggu bersama dengan orang tuanya, aku tidak ingat ada siapa lagi. Aku
tidak tahu apa yang terjadi di luar karena aku dimasukkan ke ruang gawat
darurat. Di sana aku menunggu lama sampai kira-kira pukul 12.00 siang. Akhirnya
orang tuanya Henny menyarankan untuk dirujuk ke RS khusus tulang yaitu RS dr
Soeharso yang berada di kota Solo. Tepat pukul 13.00 aku dibawa ke Solo.
Sesampainya di Solo, ternyata tidak bisa langsung di lakukan tindakan dioperasi
karena posisi “Hb” darahku cukup rendah sehingga perlu di tranfusi agar kembali
normal. Akupun dimasukkan ke dalam kamar rawat inap menunggu keesokan harinya.
Malam itu yang kurasakan hanya sakit yang luar biasa, aku tidak sadar jika
Henny menunggui disebelahku. Keesokan harinya pukul 06.00 aku dibawa ke ruang
operasi, ternyata disana sudah banyak pasien yang menunggu di operasi. Mungkin
karena kondisiku yang cukup parah sehingga aku dioperasi pada giliran terakhir.
Tindakan operasi waktu itu di mulai sekitar pukul 12.00, akupun tak sadar
karena dibius total. Kata Henny dan keluargaku, aku baru selesai dioperasi
pukul 18.00. Setelah itu aku di rawat di rumah sakit selama kurang lebih 40
hari. Dan akhirnya aku menjadi seperti saat sekarang ini, dimana aku harus
memakai kaki palsu supaya bisa beraktifitas. Awalnya cukup risih, namun kini
aku sudah terbiasa memakai kaki palsu. Yang jadi pertanyaanku sampai sekarang
“Mengapa aku harus melihat seseorang memakai kaki palsu tepat sehari sebelum
kejadian?”