Kehidupan kita
sehari-hari tak jauh dari televisi. Mulai dari bangun tidur sekedar menyadarkan
diri dari tidur sampai malam sebagai pengantar tidur kita tidak pernah lepas
dari sorotan televisi. Ada saja acara televisi yang memaksa kita untuk
mengambil remote dan menyalakannya. Bahkan anak-anak usia balita jika sudah
terpaku di depan televisi terkadang susah diajak melakukan hal lainnya seperti
makan atau mandi. Saking terpananya melihat tayangan televisi hingga sanggup
memantenginya selama berjam-jam
Tayangan
televisi banyak yang tidak mengedukasi dan cenderung merusak moral generasi
muda. Itulah kenyataan yang terjadi. Stasiun televisi seolah harimau yang lepas
dari kandang, bertindak semaunya sendiri, menyiarkan apa saja yang dikehendaki
yang penting ratingnya tinggi tanpa memperdulikan efek dari tayangan tersebut.
Kecenderungan pihak stasiun televisi yang hanya mengejar keuntungan tanpa
memperhatikan dampaknya khususnya bagi generasi muda membuat kita menjadi
khawatir dan was-was. Apalagi jika tayangan tersebut dikonsumsi oleh anak-anak.
Lihatlah sinetron-sinetron yang menampilkan kekerasan, kemarahan, percintaan,
dan kemaksiatan dimana jam tayangnya memungkinkan siapa saja untuk melihatnya
tak terkecuali anak-anak dimana sifat anak-anak yang senang sekali meniru. Apa
yang dilihatnya maka akan ditiru dalam kehidupan nyata walaupun yang ia tiru
hanya sebuah cerita fiktif. Namun yang namanya anak-anak tau apa mereka. Bisa
kita bayangkan sekolah mana yang membolehkan siswanya berambut gondrong bagi
laki-laki, memakai rok mini dan berbaju ketat, tidak menghormati guru, pacaran,
contek-mencontek, siswa SMP pakai motor sport, siswa SMU pakai mobil mewah.
Semua itu tidaklah masuk di akal dalam konteks kehidupan nyata.
Fenomena
banyaknya stasiun televisi yang menyiarkan acara secara live. Tidak dipungkiri
semakin hari semakin banyak acara-acara televisi yang menyiarkan secara
langsung. Mulai dari berita, infotainment, parodi, acara hiburan, konser musik,
dan lain sebagainya sampai-sampai acara mistik yang melibatkan makhluk dari
dunia lain ikut-ikutan disiarkan secara langsung. Apa yang sebenarnya terjadi?.
Sifat masyarakat selalu kepo (ingin tahu) menjadi asset yang sangat berharga
bagi stasiun televisi. Apa yang diinginkan masyarakat ya itulah yang akan
ditayangkan. Masyarakat kini sudah berubah, dimana dahulu masih fine-fine saja
ketika siaran televisi merupakan rekaman tapi sekarang masyarakat lebih menyenangi
tayangan yang riil. Serasa ada kepuasan tersendiri jika melihat tayangan yang
live. Seperti halnya kejadian beberapa waktu yang lalu ketika terjadi tindakan
terorisme di Jl. Thamrin Jakarta. Semua stasiun televisi berbondong-bondong
menyiarkan secara langsung. Mulai dari tindakan awal sampai kejadian
penembakan, dan yang lebih parah saat detik-detik para teroris meledakkan
dirinya. Bagi kalangan tertentu hal tersebut mungkin dianggap biasa, tapi bagi
banyak kalangan yang lainya hal tersebut bisa menyebabkan traumatis bahkan dapat
menyebabkan kemorosotan moral dimana hidup dan mati seolah tidak dianggap lagi
sebagai suatu hal yang biasa. Belum lagi tayangan-tayangan hiburan yang
menampilkan perempuan-perempuan berpakaian minim dan memakai rok yang sangat
pendek sehingga terkadang tanpa sengaja bagian-bagian yang seharusnya tertutup
bisa tersorot kamera dan seketika itu juga langsung ditonton oleh jutaan pasang
mata. Entah itu anak-anak, dewasa, dan manula. Apakah hal itu bisa disensor? Tentu
saja tidak. Lembaga sensor tak bisa berkutik dengan tayangan yang live, lembaga
sensor tak bisa memilah mana yang boleh ditayangkan mana yang tidak. Inilah
kelicikan dari pemilik stasiun televisi, dengan tidak adanya sensor maka
penonton akan semakin senang. Rating akan semakin tinggi, iklan akan
berdatangan dan pundi-pundi uang akan semakin melimpah.
Peran
pemerintah melalui KPI sangat lemah. Hal ini dibuktikan dengan semakin vulgar
dan semakin beraninya stasiun-stasiun televisi dalam menayangkan sebuah acara.
Mereka selalu mencari cara bagaiman supaya terhindar dari pantauan pemerintah
melalui KPI. KPI seakan tak berdaya dengan dibukanya kran kebebasan pers yang
semakin terbuka lebar. Tak ada tindakan signifikan yang bisa dilakukan. KPI
seolah baru bisa bertindak setelah adanya desakan dari masyarakat, seperti
halnya kasus LGBT yang baru marak. KPI bersibuk ria mensensor dan mencegah
tayangan-tayangan yang berbau LGBT dan pornografi. Pertanyaannya mengapa baru
sekarang? Padahal sudah lama sekali tayangan-tayangan yang berbau LGBT tayang
di televisi, bahkan sampai booming beberapa waktu yang lalu. Sampai ada seorang
artis laki-laki bergaya perempuan yang dielu-elukan sebagian besar masyarakat
namun mungkin Tuhan berkehendak lain sehingga sebelum adanya kasus LGBT yang
heboh beliaunya sudah dipanggil terlebih dahulu. Rahasia Tuhan taka da yang
tahu.
Peran aktif
orang tua sangatlah diperlukan. Mengapa demikian?. Sejak anak masih dalam kandungan
hingga lahir ke dunia, lalu tumbuh besar dan dewasa. Orang tualah yang selalu
mendampinginya, mengurus, dan memenuhi segala kebutuhannya termasuk kebutuhan
akan pendidikan. Seperti kita ketahui bersama bahwa pendidikan terbagi menjadi
dua jenis yakni pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pendidikan formal
adalah pendidikan yang mempunyai standar tertentu dalam kegiatannya serta
diakui yang dibuktikan dengan adanya ijasah. Sedangkan pendidikan non formal
yakni pendidikan yang tidak memerlukan standar maupun pengakuan. Seperti halnya
ketika anak belanjar mengaji di mushola. Namun yang lebih penting dari itu
ialah pendidikan dari orang tuanya kepada anaknya. Dalam pendidikan tersebut
anak akan diajarkan tentang budi pekerti, sopan santun, tata krama, termasuk
pendidikan moral. Maka apabila seorang anak memiliki akhlaq yang buruk terkait
dengan moral maka sangat dipastikan bahwa pendidikan oleh orang tua dianggap
gagal. Terkait dengan tayangan siaran langsung televisi yang cenderung tanpa
sensor, peran orang tua sangatlah besar. Akan salah besar jika perilaku anak
yang meniru gaya artis di televisi kemudian menyalahkan guru di sekolah karena
dianggap gagal mendidik. Orang tua sebagai pemegang kekuasaan di rumah
seharusnya mampu menerapkan peraturan-peraturan yang bisa mendidik
anak-anaknya. Seperti halnya batasan dalam meonton televisi, maupun
pendampingan saat menonton siaran televisi. Namun apakah disadari bahwa
kesibukan para orang tua melalaikan hal tersebut?. Jika orang tua terus
memaksakan keegoisan diri masing-masing bukan tidak mungkin anak-anaknya akan
menjadi anak yang jauh dari norma-norma yang berlaku.
-Widi
“HeWi” Nugroho-