HeWi foundation control office :

Gubug HeWi foundation
Dsn. Pajangan RT 01 RW 16, Wedomartani, Kec Ngemplak, Kab Sleman.
D.I.Yogyakarta Indonesia
c.p 081578832020 / 085643830602
e-mail : hewifoundation@gmail.com

Rabu, 02 November 2016

Orang Tua Kekinian


Sering melihat pasangan masih muda belia sudah bawa anak yang masih bayi/balita jalan2 di mall. Tampilan modis layaknya ABG yang mencari jati diri, anaknya pun didandani sekeren dan sekece mungkin. Itulah orang tua kekinian, orang tua yg hanya julukannya aja. Kadang mereka berumah tangga bukan karena tujuan hidup atau menjalankan syariat agama. Tapi kebanyakan hanya karena biar dianggap keren namun tak paham hakekat dari suatu pernikahan. Pernikahan yang hanya didasari nafsu akan melahirkan generasi yang tidak berkualitas, manja, tidak tahan banting, bermental rapuh, jauh dari unggah-ungguh.
 
Berikut ciri-ciri ORANG TUA KEKINIAN
 
1. Penampilan nomor satu, tidak bapaknya tidak ibunya tidak anaknya semuanya didandadani sekeren mungkin.

2. Hobi selfi dan aktif di sosmed, apa2 foto langsung uplod. Bangga sekali kalau ada yg menlike apalagi memberi komentar yg memuji/menyanjung.

3. Tidak mau repot, urusan tampil-menampil oke. Giliran anaknya nangis karena mencret gara2 dikasih makanan kekinian langsung di lempar ke babysisternya atau kalo tidak punya (kebanyakan yg tidak punya, tampang oke tapi dompet tipis) pastinya kakek/neneknya yang jadi korban.

4. Tidak kenal waktu tidak kenal tempat, kadang sudah tau punya anak tapi kelakuannya masih seperti bujangan. Nongkrong sampai malam, atau hangout kemana2. Kasihan anaknya yg seharusnya tidur pulas di rumah.

5. Hobi ajak anaknya belanja, makan, dan sering apa yg dimakan orang tuanya ya dimakan anaknya juga. Entah itu sehat atau tidak, entah itu higienis atau tidak.
Yang lebih parah, baru punya baby belum genap sepuluh hari sudah ditenteng2 ke mall.

6. Kalo yg anaknya sudah agak besar biasanya apa maunya anak pasti diturutin. Entah itu mahal atau murah, manfaat atau tidak yg penting daripada anaknya nangis malah jadi merepotkan orang tuanya. Semisal anaknya baru usia TK minta handphone dituruti. 

7. Setiap saat selalu pegang gadget, sibuk dengan teman sosmed. Lupa memberi makan anak, lupa memandikan anak, lupa mengawasi anak (banyak korban keteledoran orang tua).

8. Anak belum genap umur 1 tahun sudah disuruh sekolah sampe sore, biar orang tuanya bisa melanjutkan hobinya kerja. Alasanya cari uang untuk anak padahal gajinya hanya untuk bayar tempat penitipan anak/baby sisternya. Orang tua yang seperti ini biasanya lebih senang ditempat kerja karena terbebas dari kerepotan mengurus anak.

9. Kl udah masuk SD maunya anaknya pintar tapi malas mengajari.

10. Biasanya tidak paham ilmu tumbuh kembang anak sehingga melahirkan pendidikan yang gagal. 

-Widi “HeWi” Nugroho-

Senin, 29 Februari 2016

Fenomena Siaran Langsung




Kehidupan kita sehari-hari tak jauh dari televisi. Mulai dari bangun tidur sekedar menyadarkan diri dari tidur sampai malam sebagai pengantar tidur kita tidak pernah lepas dari sorotan televisi. Ada saja acara televisi yang memaksa kita untuk mengambil remote dan menyalakannya. Bahkan anak-anak usia balita jika sudah terpaku di depan televisi terkadang susah diajak melakukan hal lainnya seperti makan atau mandi. Saking terpananya melihat tayangan televisi hingga sanggup memantenginya selama berjam-jam
Tayangan televisi banyak yang tidak mengedukasi dan cenderung merusak moral generasi muda. Itulah kenyataan yang terjadi. Stasiun televisi seolah harimau yang lepas dari kandang, bertindak semaunya sendiri, menyiarkan apa saja yang dikehendaki yang penting ratingnya tinggi tanpa memperdulikan efek dari tayangan tersebut. Kecenderungan pihak stasiun televisi yang hanya mengejar keuntungan tanpa memperhatikan dampaknya khususnya bagi generasi muda membuat kita menjadi khawatir dan was-was. Apalagi jika tayangan tersebut dikonsumsi oleh anak-anak. Lihatlah sinetron-sinetron yang menampilkan kekerasan, kemarahan, percintaan, dan kemaksiatan dimana jam tayangnya memungkinkan siapa saja untuk melihatnya tak terkecuali anak-anak dimana sifat anak-anak yang senang sekali meniru. Apa yang dilihatnya maka akan ditiru dalam kehidupan nyata walaupun yang ia tiru hanya sebuah cerita fiktif. Namun yang namanya anak-anak tau apa mereka. Bisa kita bayangkan sekolah mana yang membolehkan siswanya berambut gondrong bagi laki-laki, memakai rok mini dan berbaju ketat, tidak menghormati guru, pacaran, contek-mencontek, siswa SMP pakai motor sport, siswa SMU pakai mobil mewah. Semua itu tidaklah masuk di akal dalam konteks kehidupan nyata.
Fenomena banyaknya stasiun televisi yang menyiarkan acara secara live. Tidak dipungkiri semakin hari semakin banyak acara-acara televisi yang menyiarkan secara langsung. Mulai dari berita, infotainment, parodi, acara hiburan, konser musik, dan lain sebagainya sampai-sampai acara mistik yang melibatkan makhluk dari dunia lain ikut-ikutan disiarkan secara langsung. Apa yang sebenarnya terjadi?. Sifat masyarakat selalu kepo (ingin tahu) menjadi asset yang sangat berharga bagi stasiun televisi. Apa yang diinginkan masyarakat ya itulah yang akan ditayangkan. Masyarakat kini sudah berubah, dimana dahulu masih fine-fine saja ketika siaran televisi merupakan rekaman tapi sekarang masyarakat lebih menyenangi tayangan yang riil. Serasa ada kepuasan tersendiri jika melihat tayangan yang live. Seperti halnya kejadian beberapa waktu yang lalu ketika terjadi tindakan terorisme di Jl. Thamrin Jakarta. Semua stasiun televisi berbondong-bondong menyiarkan secara langsung. Mulai dari tindakan awal sampai kejadian penembakan, dan yang lebih parah saat detik-detik para teroris meledakkan dirinya. Bagi kalangan tertentu hal tersebut mungkin dianggap biasa, tapi bagi banyak kalangan yang lainya hal tersebut bisa menyebabkan traumatis bahkan dapat menyebabkan kemorosotan moral dimana hidup dan mati seolah tidak dianggap lagi sebagai suatu hal yang biasa. Belum lagi tayangan-tayangan hiburan yang menampilkan perempuan-perempuan berpakaian minim dan memakai rok yang sangat pendek sehingga terkadang tanpa sengaja bagian-bagian yang seharusnya tertutup bisa tersorot kamera dan seketika itu juga langsung ditonton oleh jutaan pasang mata. Entah itu anak-anak, dewasa, dan manula. Apakah hal itu bisa disensor? Tentu saja tidak. Lembaga sensor tak bisa berkutik dengan tayangan yang live, lembaga sensor tak bisa memilah mana yang boleh ditayangkan mana yang tidak. Inilah kelicikan dari pemilik stasiun televisi, dengan tidak adanya sensor maka penonton akan semakin senang. Rating akan semakin tinggi, iklan akan berdatangan dan pundi-pundi uang akan semakin melimpah.
Peran pemerintah melalui KPI sangat lemah. Hal ini dibuktikan dengan semakin vulgar dan semakin beraninya stasiun-stasiun televisi dalam menayangkan sebuah acara. Mereka selalu mencari cara bagaiman supaya terhindar dari pantauan pemerintah melalui KPI. KPI seakan tak berdaya dengan dibukanya kran kebebasan pers yang semakin terbuka lebar. Tak ada tindakan signifikan yang bisa dilakukan. KPI seolah baru bisa bertindak setelah adanya desakan dari masyarakat, seperti halnya kasus LGBT yang baru marak. KPI bersibuk ria mensensor dan mencegah tayangan-tayangan yang berbau LGBT dan pornografi. Pertanyaannya mengapa baru sekarang? Padahal sudah lama sekali tayangan-tayangan yang berbau LGBT tayang di televisi, bahkan sampai booming beberapa waktu yang lalu. Sampai ada seorang artis laki-laki bergaya perempuan yang dielu-elukan sebagian besar masyarakat namun mungkin Tuhan berkehendak lain sehingga sebelum adanya kasus LGBT yang heboh beliaunya sudah dipanggil terlebih dahulu. Rahasia Tuhan taka da yang tahu.
Peran aktif orang tua sangatlah diperlukan. Mengapa demikian?. Sejak anak masih dalam kandungan hingga lahir ke dunia, lalu tumbuh besar dan dewasa. Orang tualah yang selalu mendampinginya, mengurus, dan memenuhi segala kebutuhannya termasuk kebutuhan akan pendidikan. Seperti kita ketahui bersama bahwa pendidikan terbagi menjadi dua jenis yakni pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang mempunyai standar tertentu dalam kegiatannya serta diakui yang dibuktikan dengan adanya ijasah. Sedangkan pendidikan non formal yakni pendidikan yang tidak memerlukan standar maupun pengakuan. Seperti halnya ketika anak belanjar mengaji di mushola. Namun yang lebih penting dari itu ialah pendidikan dari orang tuanya kepada anaknya. Dalam pendidikan tersebut anak akan diajarkan tentang budi pekerti, sopan santun, tata krama, termasuk pendidikan moral. Maka apabila seorang anak memiliki akhlaq yang buruk terkait dengan moral maka sangat dipastikan bahwa pendidikan oleh orang tua dianggap gagal. Terkait dengan tayangan siaran langsung televisi yang cenderung tanpa sensor, peran orang tua sangatlah besar. Akan salah besar jika perilaku anak yang meniru gaya artis di televisi kemudian menyalahkan guru di sekolah karena dianggap gagal mendidik. Orang tua sebagai pemegang kekuasaan di rumah seharusnya mampu menerapkan peraturan-peraturan yang bisa mendidik anak-anaknya. Seperti halnya batasan dalam meonton televisi, maupun pendampingan saat menonton siaran televisi. Namun apakah disadari bahwa kesibukan para orang tua melalaikan hal tersebut?. Jika orang tua terus memaksakan keegoisan diri masing-masing bukan tidak mungkin anak-anaknya akan menjadi anak yang jauh dari norma-norma yang berlaku.
-Widi “HeWi” Nugroho-

Kamis, 18 Februari 2016

Anak Sebagai Fashion



Anak Sebagai Fashion
Menikah merupakah suatu ibadah dan mempunyai anak adalah anugerah yang dititipkan oleh Tuhan kepada kita agar kita didik menjadi manusia yang lebih baik. Anak merupakan asset bagi orang tua baik di dunia maupun di akherat. Ketika orang tua kita menjadi lemah dan rapuh maka kita berkewajiban untuk berbakti kepada mereka, ketika kita masih kecil mereka susah payah mendidik kita hingga dewasa sampai bisa menentukan jalan sendiri. Bahkan ketika mereka telah tiadapun kita masih mempunyai kewajiban untuk mendoakan mereka. Begitu juga saat kita diberi anugrah seorang anak. Kita harus mendidik dengan baik karena ketika kita tua renta dan tak berdaya maka merekalah yang akan mengurus kita kelak. Ketika kita tiada maka merekalah juga yang akan mendoakan kita dan memintakan ampunan untuk kita.

Fenomena yang terjadi pada beberapa tahun terkahir sangatlah memprihatikan. Jika kita perhatikan kecenderungan pasangan-pasangan muda yang baru senang-senangnya memiliki anak. Mereka gemar sekali mengupload foto-foto anak mereka ke media social. Tujuan mereka mengupload foto-foto anak mereka tak lain dan tak bukan agar orang lain mengapresiasi dengan komentar atau minimal memberikan like pada foto tersebut. Dengan cara tersebut maka orang tua akan disanjung dan merasa bisa eksis di kalangan teman-teman medsos. Hal ini akan sangat menguntungkan bagi orang tua karena jika semakin bagus foto yang diupload maka akan semakin tenar pula si pengupload foto tersebut.
Maraknya penguploadan foto-foto anak ke media social menyebabkan para orang tua semakin berlomba-lomba mendadani anaknya sekeren mungkin. Namun disisi lain tidak memperhatikan ilmu tumbuh kembang anak. Anak dipaksa memakai pakaian yang notabene tidak sesuai usia dan anak dipaksa juga berlagak layaknya orang yang sudah dewasa. Tentu saja hal tersebut dilakukan demi memenuhi hasrat orang tuanya. Orang tua yang seperti itu akan merasa puas dan bangga. Dengan kata lain, anak hanya dijadikan fashion bagi bapak ibunya. Anak seperti layaknya pakaian. Ibarat kata memiliki anak hanya untuk gaya-gayaan dan meningkatkan prestis orang tuanya.
Pasangan muda seperti di atas bisa menjadi penghancur generasi masa depan. Tak jarang pasangan muda yang berorientasi penampilan semata tidak akan menyayangi dan mendidik anaknya dengan baik. Mereka memiliki kecenderungan menyia-nyiakan anak. Sebagai contoh ketika orang tua butuh eksis maka anak akan didandani habis-habisan, tapi ketika orang tua sedang tidak butuh maka anak hanya dititip-titipkan atau diasuh oleh baby sister. Akhirnya anak menjadi tidak dekat dengan orang tuanya. Dengan ketidak dekatan tersebut, semakin anak tumbuh besar maka anak akan cenderung menolak apa yang diminta orang tua karena merasa tidak ada kedekatan dan otomatis orang tua menjadi suka marah-marah pada anaknya. Disinilah letak keegoisan para orang tua. Selalu menganggap dirinya benar, tidak menyadari kesalahan yang dilakukan.

Ada yang beranggapan bahwa hal tersebut adalah permintaan si anak, jika tidak diturutin anak akan ngambek. Secara logika seorang anak yang baru lahir ke dunia dia belum tau apa-apa, para orang tualah yang mengenalkan. Mengapa anak menjadi seperti itu ya karena dibiasakan oleh orang tuanya. Sama halnya seperti susu formula yang diberikan ke bayi. Bayi yang baru lahir belum mengenal rasa. Ketika apa yang pertama ia konsumsi (susu formula) terasa enak maka ketika diberi ASI yang notabene rasanya kurang enak maka anak akan menolak. Namun apabila begitu lahir langsung diberi ASI maka anak tersebut pasti mau kecuali ada masalah lain. Karena Tuhan sudah mengantisipasi dengan menyiapkan pabrik susu sendiri yaitu ibunya. Anak yang
Pada akhirnya kita semua hanya bisa menghimbau kepada pasangan muda, jangan terlalu buru-buru menikah. Karena menikah butuh persiapan yang matang tidak hanya dalam berumah tangga namun juga dalam hal mengurus anak yang pasti akan dilakukan kelak. Jangan jadikan suatu pernikahan sebagai sarana eksisitas diri agar disanjung banyak orang, agar orang memandang wah. Menikah adalah ibadah dimana segala sesuatunya didasari dengan keimanan dan ketaqwaan. Jangan pula jadikan anak sebagai pemuas nafsu batin orang tua yang harus memenuhi keinginan orang tua tanpa melihat hak-hak yang dimiliki oleh seorang anak. Orang tua memang punya hak atas anaknya  namun jangan salah, anak juga memiliki ha katas dirinya. Hak untuk diasuh dan dididik dengan baik/benar sesuai dengan tingkat tumbuh kembangnya.
-Widi “HeWi” Nugroho-

Rabu, 14 Oktober 2015

Riba Membuat Sengsara

https://andrezyrus.files.wordpress.com/2012/06/riba.jpg 

Riba, sering kita mendengar kata tersebut. Sebagaimana kita ketahui secara umum, riba biasanya dikaitkan dengan hutang piutang. Secara etimologi riba berarti tambahan, baik yang terdapat pada sesuatu atau tambahan tersebut sebagai ganti terhadap sesuatu tersebut, seperti menukar satu dirham dengan dua dirham. Lafadz ini juga digunakan atas segala bentuk jual beli yang diharamkan (Syarh An Nawawi ‘alaa Shahih Muslim 11/8, Fathul Baari 4/312).

Adapun secara terminologi, riba berarti adanya tambahan dalam suatu barang yang khusus dan istilah ini digunakan pada dua bentuk riba, yaitu riba fadl dan riba nasiah (Lihat Al Mughni 6/52, Fathul Qadir 1/294; dinukil dari Ar Ribaa Adraruhu wa Atsaruhu fii Dlauil Kitabi was Sunnah). Al Ustadz Aunur Rofiq Ghufron mengatakan, “Maksud tambahan secara khusus,ialah tambahan yang diharamkan oleh syari’at Islam, baik diperoleh dengan cara penjualan, atau penukaran atau peminjaman yang berkenaan dengan benda riba.” (Majalah As Sunnah edisi 3 tahun VII).
Jadi jelaslah dari penjelasan di atas bahwa riba merupakan tambahan atau kelebihan ketika kita mengembalikan pinjaman yang biasanya berupa uang.

Tak dapat dipungkiri akhir-akhir ini riba semakin melekat dikehidupan masyarakat kita. Tanpa kita sadari kebutuhan manusia yang setiap hari semakin meningkat tetapi tidak didasari dengan pemikiran yang matang membuat sistem riba ini semakin tumbuh subur. Tengoklah disekitar kita, bahkan kita sendiri ketika kita membutuhkan sesuatu baik berupa tempat tinggal, kendaraan, gadget, dsb namun kita tidak memiliki dana yang cukup padahal kebutuhan itu cukup mendesak kita atau masyarakat pada umumnya mengandalkan pinjaman, baik pinjaman di bank maupun perseorangan. Dengan dalih apabila kita membeli kebutuhan tersebut dengan cara menabung akan merugikan kita karena ketika tabungan sudah mencukupi, harga dari barang yang kita butuhkan sudah naik sehingga dana yang seharusnya sudah cukup menjadi kurang, sehingga orang cenderung mengambil jalan pintas dengan meminjam. 

Sebenarnya tidak ada salahnya jika kita meminjam baik barang maupun uang kepada orang lain. Namun yang dipermasalahkan adalah kelebihan yang harus diberikan oleh peminjam kepada orang yang memberikan pinjaman dengan unsur paksaan (dalam hal ini bunga hutang). Semisal jika kita pinjam 1 juta maka harus mengembalikan sebesar 1,1 juta.

Dalam Al-Quran dan As-Sunah sudah dijelaskan tentang riba.

Dalil dari Al-Qur’an, Allah ta’ala berfirman,

وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah telah mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)

Dalil dari As-Sunnah:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba dan dua orang saksinya. Kedudukan mereka itu semuanya sama.” (HR. Muslim nomor 2995)

Adapun dampak negatif dari riba antara lain :

(1) Riba memberikan dampak negatif bagi akhlak dan jiwa pelakunya. Jika diperhatikan, maka kita akan menemukan bahwa mereka yang berinteraksi dengan riba adalah individu yang secara alami memiliki sifat kikir, dada yang sempit, berhati keras, menyembah harta, tamak akan kemewahan dunia dan sifat-sifat hina lainnya.

(2) Riba merupakan akhlaq dan perbuatan musuh Allah, Yahudi. Allah ta’ala berfirman:

وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil, Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An Nisaa’: 161)

(3) Riba merupakan akhlak kaum jahiliyah. Barang siapa yang melakukannya, maka sungguh dia telah menyamakan dirinya dengan mereka.

(4) Pelaku (baca: pemakan) riba akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam keadaan seperti orang gila. Allah ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)

(5) Seseorang yang bergelut dan berinteraksi dengan riba berarti secara terang-terangan mengumumkan dirinya sebagai penentang Allah dan rasul-Nya dan dirinya layak diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ . فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-279)
Maka keuntungan apakah yang akan diraih bagi mereka yang telah mengikrarkan dirinya sebagai musuh Allah dan akankah mereka meraih kemenangan jika yang mereka hadapi adalah Allah dan rasul-Nya?!

(6) Memakan riba menunjukkan kelemahan dan lenyapnya takwa dalam diri pelakunya. Hal ini menyebabkan kerugian di dunia dan akhirat. Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ . وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. Ali Imran: 130-132)

(7) Memakan riba menyebabkan pelakunya mendapat laknat dan dijauhkan dari rahmat Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melaknat pemakan riba, yang memberi riba, juru tulisnya dan kedua saksinya, beliau berkata, “Mereka semua sama saja.” (HR. Muslim: 2995)

(8) Setelah meninggal, pemakan riba akan di adzab dengan berenang di sungai darah sembari mulutnya dilempari dengan bebatuan sehingga dirinya tidak mampu untuk keluar dari sungai tersebut, sebagaimana yang ditunjukkan dalah hadits Samurah radliallahu ‘anhu (HR. Bukhari 3/11 nomor 2085)

(9) Memakan riba merupakan salah satu perbuatan yang dapat menghantarkan kepada kebinasaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan!” Para sahabat bertanya, “Apa sajakah perkara tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Syirik, sihir, membunuh jiwa yan diharamkan Allah kecuali dengan cara yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan pertempuran dan menuduh wanita mukminah berzina.” (HR. Bukhari nomor 2615, Muslim nomor 89)

(10) Riba merupakan perbuatan maksiat kepada Allah dan rasul-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

لا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nuur: 63)

وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An Nisaa: 14)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzaab: 36)

وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka Sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS. Al Jin: 23)

(11) Pemakan riba diancam dengan neraka jika tidak bertaubat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah: 275)

(12) Allah tidak akan menerima sedekah yang diperoleh dari riba, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak akan menerima sesuatu kecuali yang baik.” (HR. Muslim 2/3 nomor 1014)

(13) Do’a seorang pemakan riba tidak akan terkabul. Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakan bahwa ada seorang yang bersafar kemudian menengadahkan tangannya ke langit seraya berdo’a, “Ya Rabbi, ya Rabbi!” Akan tetapi makanan dan minumannya berasal dari yang haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan oleh barang yang haram. Maka bagaimana bisa do’anya akan dikabulkan?! (HR. Muslim nomor 1014)

(14) Memakan riba menyebabkan hati membatu dan memasukkan “ar raan” ke dalam hati. Allah ta’ala berfirman,

كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthaffifin: 14)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah di dalam jasad terdapat sepotong daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh badan. Namun jika ia rusak, maka rusaklah seluruh badan. Ketahuilah sepotong daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari 1/19 nomor 52, Muslim nomor 1599)

(15) Memakan riba adalah bentuk kezhaliman dan kezhaliman merupakan kegelapan di hari kiamat. Allah ta’ala berfirman,
وَلا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الأبْصَارُ . مُهْطِعِينَ مُقْنِعِي رُءُوسِهِمْ لا يَرْتَدُّ إِلَيْهِمْ طَرْفُهُمْ وَأَفْئِدَتُهُمْ هَوَاءٌ
“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. Mereka datang bergegas-gegas memenuhi panggilan dengan mangangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong.” (QS. Ibrahim: 42-43)

(16) Pelaku riba biasanya jarang melakukan berbagai kebajikan, karena dirinya tidak memberikan pinjaman dengan cara yang baik, tidak memperhatikan orang yang kesulitan, tidak pula meringankan kesulitannya bahkan dirinya mempersulit dengan pemberian pinjaman yang disertai tambahan bunga. Padahal Allah telah menerangkan keutamaan seorang yang meringankan kesulitan seorang mukmin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa meringankan satu kesulitan seorang mukmin dari berbagai kesulitannya di dunia , maka Allah akan meringankan kesulitan dari berbagai kesulitan yang akan dihadapinya pada hari kiamat kelak. Barangsiapa yang memeri keringanan bagi orang yang kesulitan, maka Allah akan memberi keringanan baginya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menyembunyikan aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat.” (HR. Muslim nomor 2699)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa memperhatikan orang yang ditimpa kesulitan dan menghilangkannya, maka Allah akan menaunginya dalam naungan-Nya.” (HR. Muslim nomor 3006)

(17) Riba melunturkan rasa simpati dan kasih sayang dari diri seseorang. Karena seorang rentenir tidak akan ragu untuk mengambil seluruh harta orang yang berhutang kepadanya. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تنزع الرحمة إلا من شقي
“Tidaklah sifat kasih sayang itu diangkat kecuali dari seorang yang celaka.” (HR. Abu Dawud nomor 4942, Tirmidzi nomor 1923 dan hadits ini dishahihkan oleh al ‘Allamah Al Albani dalam Shahih Tirmidzi, 2/180)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Allah tidak akan menyayangi seseorang yang tidak sayang kepada sesama manusia.” (HR. Bukhari nomor 7376, Muslim nomor 2319)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang yang memiliki sifat kasih sayang akan disayangi oleh Ar-Rahman. Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya Dzat yang ada di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud nomor 1941, Tirmidzi nomor 924 dan hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Albani dalam Shahih Tirmidzi 2/180)