HeWi foundation control office :

Gubug HeWi foundation
Dsn. Pajangan RT 01 RW 16, Wedomartani, Kec Ngemplak, Kab Sleman.
D.I.Yogyakarta Indonesia
c.p 081578832020 / 085643830602
e-mail : hewifoundation@gmail.com

Senin, 29 Februari 2016

Fenomena Siaran Langsung




Kehidupan kita sehari-hari tak jauh dari televisi. Mulai dari bangun tidur sekedar menyadarkan diri dari tidur sampai malam sebagai pengantar tidur kita tidak pernah lepas dari sorotan televisi. Ada saja acara televisi yang memaksa kita untuk mengambil remote dan menyalakannya. Bahkan anak-anak usia balita jika sudah terpaku di depan televisi terkadang susah diajak melakukan hal lainnya seperti makan atau mandi. Saking terpananya melihat tayangan televisi hingga sanggup memantenginya selama berjam-jam
Tayangan televisi banyak yang tidak mengedukasi dan cenderung merusak moral generasi muda. Itulah kenyataan yang terjadi. Stasiun televisi seolah harimau yang lepas dari kandang, bertindak semaunya sendiri, menyiarkan apa saja yang dikehendaki yang penting ratingnya tinggi tanpa memperdulikan efek dari tayangan tersebut. Kecenderungan pihak stasiun televisi yang hanya mengejar keuntungan tanpa memperhatikan dampaknya khususnya bagi generasi muda membuat kita menjadi khawatir dan was-was. Apalagi jika tayangan tersebut dikonsumsi oleh anak-anak. Lihatlah sinetron-sinetron yang menampilkan kekerasan, kemarahan, percintaan, dan kemaksiatan dimana jam tayangnya memungkinkan siapa saja untuk melihatnya tak terkecuali anak-anak dimana sifat anak-anak yang senang sekali meniru. Apa yang dilihatnya maka akan ditiru dalam kehidupan nyata walaupun yang ia tiru hanya sebuah cerita fiktif. Namun yang namanya anak-anak tau apa mereka. Bisa kita bayangkan sekolah mana yang membolehkan siswanya berambut gondrong bagi laki-laki, memakai rok mini dan berbaju ketat, tidak menghormati guru, pacaran, contek-mencontek, siswa SMP pakai motor sport, siswa SMU pakai mobil mewah. Semua itu tidaklah masuk di akal dalam konteks kehidupan nyata.
Fenomena banyaknya stasiun televisi yang menyiarkan acara secara live. Tidak dipungkiri semakin hari semakin banyak acara-acara televisi yang menyiarkan secara langsung. Mulai dari berita, infotainment, parodi, acara hiburan, konser musik, dan lain sebagainya sampai-sampai acara mistik yang melibatkan makhluk dari dunia lain ikut-ikutan disiarkan secara langsung. Apa yang sebenarnya terjadi?. Sifat masyarakat selalu kepo (ingin tahu) menjadi asset yang sangat berharga bagi stasiun televisi. Apa yang diinginkan masyarakat ya itulah yang akan ditayangkan. Masyarakat kini sudah berubah, dimana dahulu masih fine-fine saja ketika siaran televisi merupakan rekaman tapi sekarang masyarakat lebih menyenangi tayangan yang riil. Serasa ada kepuasan tersendiri jika melihat tayangan yang live. Seperti halnya kejadian beberapa waktu yang lalu ketika terjadi tindakan terorisme di Jl. Thamrin Jakarta. Semua stasiun televisi berbondong-bondong menyiarkan secara langsung. Mulai dari tindakan awal sampai kejadian penembakan, dan yang lebih parah saat detik-detik para teroris meledakkan dirinya. Bagi kalangan tertentu hal tersebut mungkin dianggap biasa, tapi bagi banyak kalangan yang lainya hal tersebut bisa menyebabkan traumatis bahkan dapat menyebabkan kemorosotan moral dimana hidup dan mati seolah tidak dianggap lagi sebagai suatu hal yang biasa. Belum lagi tayangan-tayangan hiburan yang menampilkan perempuan-perempuan berpakaian minim dan memakai rok yang sangat pendek sehingga terkadang tanpa sengaja bagian-bagian yang seharusnya tertutup bisa tersorot kamera dan seketika itu juga langsung ditonton oleh jutaan pasang mata. Entah itu anak-anak, dewasa, dan manula. Apakah hal itu bisa disensor? Tentu saja tidak. Lembaga sensor tak bisa berkutik dengan tayangan yang live, lembaga sensor tak bisa memilah mana yang boleh ditayangkan mana yang tidak. Inilah kelicikan dari pemilik stasiun televisi, dengan tidak adanya sensor maka penonton akan semakin senang. Rating akan semakin tinggi, iklan akan berdatangan dan pundi-pundi uang akan semakin melimpah.
Peran pemerintah melalui KPI sangat lemah. Hal ini dibuktikan dengan semakin vulgar dan semakin beraninya stasiun-stasiun televisi dalam menayangkan sebuah acara. Mereka selalu mencari cara bagaiman supaya terhindar dari pantauan pemerintah melalui KPI. KPI seakan tak berdaya dengan dibukanya kran kebebasan pers yang semakin terbuka lebar. Tak ada tindakan signifikan yang bisa dilakukan. KPI seolah baru bisa bertindak setelah adanya desakan dari masyarakat, seperti halnya kasus LGBT yang baru marak. KPI bersibuk ria mensensor dan mencegah tayangan-tayangan yang berbau LGBT dan pornografi. Pertanyaannya mengapa baru sekarang? Padahal sudah lama sekali tayangan-tayangan yang berbau LGBT tayang di televisi, bahkan sampai booming beberapa waktu yang lalu. Sampai ada seorang artis laki-laki bergaya perempuan yang dielu-elukan sebagian besar masyarakat namun mungkin Tuhan berkehendak lain sehingga sebelum adanya kasus LGBT yang heboh beliaunya sudah dipanggil terlebih dahulu. Rahasia Tuhan taka da yang tahu.
Peran aktif orang tua sangatlah diperlukan. Mengapa demikian?. Sejak anak masih dalam kandungan hingga lahir ke dunia, lalu tumbuh besar dan dewasa. Orang tualah yang selalu mendampinginya, mengurus, dan memenuhi segala kebutuhannya termasuk kebutuhan akan pendidikan. Seperti kita ketahui bersama bahwa pendidikan terbagi menjadi dua jenis yakni pendidikan formal dan pendidikan non formal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang mempunyai standar tertentu dalam kegiatannya serta diakui yang dibuktikan dengan adanya ijasah. Sedangkan pendidikan non formal yakni pendidikan yang tidak memerlukan standar maupun pengakuan. Seperti halnya ketika anak belanjar mengaji di mushola. Namun yang lebih penting dari itu ialah pendidikan dari orang tuanya kepada anaknya. Dalam pendidikan tersebut anak akan diajarkan tentang budi pekerti, sopan santun, tata krama, termasuk pendidikan moral. Maka apabila seorang anak memiliki akhlaq yang buruk terkait dengan moral maka sangat dipastikan bahwa pendidikan oleh orang tua dianggap gagal. Terkait dengan tayangan siaran langsung televisi yang cenderung tanpa sensor, peran orang tua sangatlah besar. Akan salah besar jika perilaku anak yang meniru gaya artis di televisi kemudian menyalahkan guru di sekolah karena dianggap gagal mendidik. Orang tua sebagai pemegang kekuasaan di rumah seharusnya mampu menerapkan peraturan-peraturan yang bisa mendidik anak-anaknya. Seperti halnya batasan dalam meonton televisi, maupun pendampingan saat menonton siaran televisi. Namun apakah disadari bahwa kesibukan para orang tua melalaikan hal tersebut?. Jika orang tua terus memaksakan keegoisan diri masing-masing bukan tidak mungkin anak-anaknya akan menjadi anak yang jauh dari norma-norma yang berlaku.
-Widi “HeWi” Nugroho-

Kamis, 18 Februari 2016

Anak Sebagai Fashion



Anak Sebagai Fashion
Menikah merupakah suatu ibadah dan mempunyai anak adalah anugerah yang dititipkan oleh Tuhan kepada kita agar kita didik menjadi manusia yang lebih baik. Anak merupakan asset bagi orang tua baik di dunia maupun di akherat. Ketika orang tua kita menjadi lemah dan rapuh maka kita berkewajiban untuk berbakti kepada mereka, ketika kita masih kecil mereka susah payah mendidik kita hingga dewasa sampai bisa menentukan jalan sendiri. Bahkan ketika mereka telah tiadapun kita masih mempunyai kewajiban untuk mendoakan mereka. Begitu juga saat kita diberi anugrah seorang anak. Kita harus mendidik dengan baik karena ketika kita tua renta dan tak berdaya maka merekalah yang akan mengurus kita kelak. Ketika kita tiada maka merekalah juga yang akan mendoakan kita dan memintakan ampunan untuk kita.

Fenomena yang terjadi pada beberapa tahun terkahir sangatlah memprihatikan. Jika kita perhatikan kecenderungan pasangan-pasangan muda yang baru senang-senangnya memiliki anak. Mereka gemar sekali mengupload foto-foto anak mereka ke media social. Tujuan mereka mengupload foto-foto anak mereka tak lain dan tak bukan agar orang lain mengapresiasi dengan komentar atau minimal memberikan like pada foto tersebut. Dengan cara tersebut maka orang tua akan disanjung dan merasa bisa eksis di kalangan teman-teman medsos. Hal ini akan sangat menguntungkan bagi orang tua karena jika semakin bagus foto yang diupload maka akan semakin tenar pula si pengupload foto tersebut.
Maraknya penguploadan foto-foto anak ke media social menyebabkan para orang tua semakin berlomba-lomba mendadani anaknya sekeren mungkin. Namun disisi lain tidak memperhatikan ilmu tumbuh kembang anak. Anak dipaksa memakai pakaian yang notabene tidak sesuai usia dan anak dipaksa juga berlagak layaknya orang yang sudah dewasa. Tentu saja hal tersebut dilakukan demi memenuhi hasrat orang tuanya. Orang tua yang seperti itu akan merasa puas dan bangga. Dengan kata lain, anak hanya dijadikan fashion bagi bapak ibunya. Anak seperti layaknya pakaian. Ibarat kata memiliki anak hanya untuk gaya-gayaan dan meningkatkan prestis orang tuanya.
Pasangan muda seperti di atas bisa menjadi penghancur generasi masa depan. Tak jarang pasangan muda yang berorientasi penampilan semata tidak akan menyayangi dan mendidik anaknya dengan baik. Mereka memiliki kecenderungan menyia-nyiakan anak. Sebagai contoh ketika orang tua butuh eksis maka anak akan didandani habis-habisan, tapi ketika orang tua sedang tidak butuh maka anak hanya dititip-titipkan atau diasuh oleh baby sister. Akhirnya anak menjadi tidak dekat dengan orang tuanya. Dengan ketidak dekatan tersebut, semakin anak tumbuh besar maka anak akan cenderung menolak apa yang diminta orang tua karena merasa tidak ada kedekatan dan otomatis orang tua menjadi suka marah-marah pada anaknya. Disinilah letak keegoisan para orang tua. Selalu menganggap dirinya benar, tidak menyadari kesalahan yang dilakukan.

Ada yang beranggapan bahwa hal tersebut adalah permintaan si anak, jika tidak diturutin anak akan ngambek. Secara logika seorang anak yang baru lahir ke dunia dia belum tau apa-apa, para orang tualah yang mengenalkan. Mengapa anak menjadi seperti itu ya karena dibiasakan oleh orang tuanya. Sama halnya seperti susu formula yang diberikan ke bayi. Bayi yang baru lahir belum mengenal rasa. Ketika apa yang pertama ia konsumsi (susu formula) terasa enak maka ketika diberi ASI yang notabene rasanya kurang enak maka anak akan menolak. Namun apabila begitu lahir langsung diberi ASI maka anak tersebut pasti mau kecuali ada masalah lain. Karena Tuhan sudah mengantisipasi dengan menyiapkan pabrik susu sendiri yaitu ibunya. Anak yang
Pada akhirnya kita semua hanya bisa menghimbau kepada pasangan muda, jangan terlalu buru-buru menikah. Karena menikah butuh persiapan yang matang tidak hanya dalam berumah tangga namun juga dalam hal mengurus anak yang pasti akan dilakukan kelak. Jangan jadikan suatu pernikahan sebagai sarana eksisitas diri agar disanjung banyak orang, agar orang memandang wah. Menikah adalah ibadah dimana segala sesuatunya didasari dengan keimanan dan ketaqwaan. Jangan pula jadikan anak sebagai pemuas nafsu batin orang tua yang harus memenuhi keinginan orang tua tanpa melihat hak-hak yang dimiliki oleh seorang anak. Orang tua memang punya hak atas anaknya  namun jangan salah, anak juga memiliki ha katas dirinya. Hak untuk diasuh dan dididik dengan baik/benar sesuai dengan tingkat tumbuh kembangnya.
-Widi “HeWi” Nugroho-